Sore ini, saya sengaja pulang tenggo (bunyi teng, langsung go) atau istilah mudahnya, buru ngibrit setelah nge bel. Fenomena ini langka sekali terjadi pada diri saya. Bahkan hal yang mustahil untuk pulang tenggo. Selain tumpukan pekerjaan, belum lagi harus menjawab setiap email kiriman dari klien.
Tapi dan tapi, berkat kejadian pembegalan yang marak terjadi di Tangerang dan Depok, alhasil saya diwajibkan, diharuskan oleh bos saya untuk pulang cepat. Intinya sih, “Gih, sono dah lo pulang buru, dari pada elu ilang, gue yang rugi”. Nah, kira-kira semacam itu. hehe..
Saya sih senang sekali harus pulang tenggo. Walaupun jalanan super macet, kereta super padat, dan perut yang super laper, tapi setidaknya saya masih bisa sampai rumah sebelum jam 9 malam WIM (waktu indonesia mampang). hehe..
Singkat kata, perjalanan masih seperti biasa. Pemandangan juga masih seperti bisa tepat 45 menit perjalanan. Tidak lama, handphone saya berdering. Ternyata mbak ayu, menelpon saya. Well, mbak Ayu adalah agency periklanan yang baru-baru saja menawarkan saya jasa periklanan untuk branding perusahaan. Kita belum sempat bertemu, tapi obrolan di email begitu dekat. Apa karena asas marketing yang sok dekat sok kenal kali ya, bisa jadi. Intinya, hubungan kami cukup harmonis.
“Halo, mbak kantri, maaf saya baru telepon diri mu nih”, Sapa Mbak Ayu sambil ketawa kecut.
“Oh Hi, mbak Ayu. Iya enggak apa-apa kok. Gimana gimana pesanan aku?”. Singkat saya.
“Iya nih, enaknya kita ketemua aja yuk mbak hari ini, biar sekali ketemu bahas desain dan harga minggu depan langsung cetak. Gimana?”. Tanya Mbak Ayu.
Tadaaaaa !!. Hari ini. Yeah hari ini, yeah tau aja dia kalo saya pulang tenggo. Gagal sudah !!.
Tapi bagaimana lagi, profesionalisme tjuy !!. Ibarat deadline emang udah sahabat sejati sejawat dalam dunia PR, jadi mau dikatakan aplagi..
Akhirnya saya menyetujui pertemuan itu. Ketemulah kita di sebuah rumah makan khas Jepang di daerah Sudirman. Setiba di sana, saya langsung celingak celinguk nyari orang. Sebenernya itu juga karena ditanya, “Sudah ada janji?” sama petugas infront officenya. Ternyata saya baru sadar respon saya itu sulit anti mainstreem loh. Ketika ditanya “Sudah janji” pasti celingak celinguk. hahaha..
Kemudian, saya segera ambil tempat duduk paling depan, sambil mengirimkan pesan singkat melalui WA.
“Mbak, aku udah di lokasi ya. Aku pake blazer biru dongker, rok berwarna hitam, dan jilbab bermotif Pink fanta”. Kira-kira seperti itu isi pesan singkat saya.
Sambil membolak balikan daftar menu, celingak celinguk sekeliling rumah makan ini, berharap ada gitu yang tiba-tiba kenal dan diajak traktir, eh taunnya kosong enggak ada orang kecuali saya. Good !
20 menit berselang maju, tiba-tiba ada yang datang menghampiri, sosok perempuan cantik dengan tubuh yang sedikit berisi memakai blazer hitam, rok mini super ketat, dan heels yang kira-kira 3 centi tingginya sukses membuat tingginya sekitar 156 centi meter. Jadi tinggi asli kurang lebih 153 cm.
“Mbak Kantri?”. Tanya dia sambil menunjuk saya.
“Iya. Mbak Ayu?”. Saya pun balik bertanya dan menunjuk.
Kami pun saling tanya dan saling tunjuk. Ibarat suit, tunjuk versus telunjuk endingnya seri. Jadi mesti suit lagi, tapi apa daya Mbak Ayu ini langsung menjabat tangan saya hangat. “Maaf ya, lama nunggu”.
Saya pun segera mengelak ketidakberatan atas keterlambatan yang tidak terkonfirmasi (Nah bingung kan ni bahasa?. Sama !). 😀
Tidak lama tempat duduk kami didatangi oleh seorang laki-laki sekitar 30 tahunan berpenampilan menarik, rapih, wangi, dan ternyata rekan kerja dan rekan hidupnya Mbak Ayu. Namanya Mas Dicky.
“Jadi gimana nih mbak Ayu, kelanjutan ordernya?”. Tanya saya kemudian.
Anehnya, Mbak Ayu sebagai juru bicara tidak langsung menjawab pertanyaan saya, dia hanya tertegun liat saya sambil berkata, “Kayaknya kita pernah ketemu deh. Atau wajah mbak kantri ini familiar, tapi di mana ya?”.
Emang dasar saya nih, langsung nyeleneh ngejawab, “Ayo.. mbak, mirip artis siapa coba?”.Â
Lah, semuanya malah ketawa. Kurang tahu juga sih, itu mereka ketawa karena miris, atau ketawa hina?. Ah, sudahlah.. anggap saja tidak masuk keduanya. Okesip!
FYI, pendekatan semacam itu ternyata pendekatan marketing loh. Kuncinya, cari titik di mana orang itu bisa GeEr abess!!. Setidaknya bikin kabur dulu gitu pikirannya, bukannya mikir bisnis malah mikir “Gue mirip artis siapa”.  Padahal kan enggak ada yang bilang saya mirip artis bukan?. Jadinya ketawan deh, obsesi saya pingin bener jadi artis kebongkar sudah. haha..
membahas desain, tawar menawar harga, selebihnya ketawa ngobrolin artis. Tuh kan, sukses deh dia !. Tapi emang bener loh ya, hubungan yang kaku itu menyeramkan dan membosankan. Mencari pasangan aja harus yang bisa menjalin hubungan yang asik, nah itu juga harus terjadi ketika menjalin relasi bisnis. Kompensasinya jelas, bentuk komunikasi yang fleksibel. Mau komplain sekalipun bisa dilakukan dengan ekspresi yang santai. Toh, pasti mereka juga tidak mau jika customer ilang melayang.
Komunikasi itu mudah-mudah gampang tapi tidak gampangan. Terbukti, masalah orang komunikasi adalah berkomunikasi. Kebayakan teori komunikasi kelompok dan komunikasi massa tapi sudah lupa dengan komunikasi Antar pesona. Dilema memang. Terkadang kita ingin membangun komunikasi yang ceria, yang santai, murah senyum, dan terbuka, tapi dalam beberapa hal ternyata citra perusahaan kita tidak menjunjung citra demikian. Kan, kasihan kalau jatuhnya lebay tragis.
Saya juga curhat lagi, pernah suatu ketika ada yang orang salah persepsi menilai saya. Kita kenal melalui sosial media, ketika dia melihat wajah saya, dan ketika bertemu saya, dia langsung bilang, “Kantri, kamu tau tidak, ku kira kamu itu orang yang kalem, keibuan, pokoknya perempuan banget. Ternyata pecah hingar bingar banget”.Â
Atau, ketika saya berhubungan relasi dengan salah satu rekan bisnis melalui email dan telepon. Ketika bertemu dan bertukar pin bb, semua berubah menjadi teman biasa yang suka haha hihi. Tidak ada lagi kalimat baku ini itu nganu ngini. Bahkan dia bilang, “Sampai detik ini, saya enggak percaya kalau kamu itu seorang PRO. Bisa beda begitu”.
Waduh, serem amat semacam 2 kepribadian gini ya saya?!. Pertama, kalau masalah wajah, saya akui lah banyak yang tertipu dengan arti raut wajah. Terus kalau wajah saya seperti orang kalem salah siapa?!. Mau nyalahin Tuhan?!. Kan indak iso tho..
Atau misal ada orang wajahnya madesu, terus kita bilang pasti nasibnya madesu. Nah itu juga ora iso. Itu sebabnya kenapa ada istilah “Don’t Judge a Book from Its cover”. Bagi kaum profesionalism, dimana-mana pasti junjung tinggi kode etik dan citra perusahaan. Walau sebenarnya, watak aslinya, biasa aja, atau bingas, atau agresif, atau malah tertutup. Terlebih untuk profesi PRO. Kami jujur atas profesi kami. Tapi jika jujur untuk pribadi kami, weitz, nanti dulu.
Nah, sekarang cerita yang saya sedikit paparkan ini bisa menjadi satu pilihan untuk meluluhkan hati PRO sebuah perusahaan walau luluhnya enggak paten-paten amat. Setidaknya, first impression you, oke sangat lah. Berilah kesan pertama begitu menggoda. Nah gitu, kayaknya yang benar. Tapi lain cerita jika PRO berhadapan dengan media. Nah itu tunggu cerita lainnya deh ya.. hehe..
Yuk, kerja lagi.
Adioss..